Banda Aceh – Penerapan Syariat Islam di Aceh merupakan keistimewaan Aceh yang peroleh melalui perjuangan panjang rakyat selama puluhan tahun, mengorbankan darah dan air mata. Hal itu semestinya menjadi salah satu prioritas yang harus tetap diperhatikan oleh pemangku kebijakan yakni pemerintah.
Namun demikian, Banda Aceh yang menjadi sentral sekaligus cermin dalam penerapan yariat islam justru terkesan semakin memprihatinkan. Terlihat sejumlah kafe di Banda Aceh itu justru dibiarkan live music hingga pukul 02.00 dini hari, bahkan terlihat pula anak gadis yang masih bergentayangan di kafe-kafe bersama lelaki non muhrim hingga dini hari.
“Memang selama Pak Amiruddin menjadi Pj Walikota Banda Aceh ini penegakan syariat islam kurang diperhatikan. Buktinya banyak muda mudi non muhrim yang nongkrong di sejumlah kafe sampai dini hari. Bahkan praktek bisnis lendir sepertinya semakin marak di Banda Aceh ini pak, tapi pemko Banda Aceh semasa Pak Amiruddin ini sepertinya kurang peduli dengan pelanggaran-pelanggaran syariat seperti itu,” beber salah salah seorang sumber media ini, warga Banda Aceh yang ditemui sedang nongkrong di salah satu Kafe.
Menurut sumber tersebut, banyaknya pelanggaran syariat Islam yang dibiarkan begitu saja selain merusak citra Banda Aceh sebagai daerah syariat Islam juga membuat kemaksiatan semakin merajalela. “Sungguh memalukan jika ada tamu dari luar datang ke Aceh, dimana di ibukota provinsinya saja pelanggaran syariat merajalela, bahkan situasinya melebihi kota besar,” kata sumber tersebut sembari meminta identitasnya dirahasiakan.
Kata sumber tersebut, tahun-tahun sebelumnya itu satpol PP dan WH sering melakukan razia dan pemantauan rutin, tapi saat ini sepertinya sangat kurang sehingga para pelanggar syariat Islam merasa semakin bebas di Banda Aceh ini. “Kita juga tidak tahu kenapa selama Pak Amiruddin ini pemerintahnya kurang peduli persoalan penegakan syariat islam. Jangan – jangan anggaran operasional Satpol PP dan WH sudah dipangkas demi proyek,” ujarnya mengaku heran.
Dia menyebutkan, Banda Aceh yang pernah mengalami bencana gempa dan tsunami sekitar 20 tahun silam seharusnya dapat lebih serius dalam mengantisipasi terjadinya maksiat dan syariat Islam karena hal itu dinilai dapat mengundang bencana. “Apa tunggu bencana tiba dulu baru Pak Pj Walikota Banda Aceh sadar, apakah beliau tidak takut dengan azab yang maha kuasa,” tandasnya. (RN/KH)